126 Ribu Buruh Kena PHK Sejak 2022, Mayoritas dari Sektor Tekstil
12 November 2025
11:15 WIB
sumber gambar : rmol.id
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih masif melanda industri nasional, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kondisi pasar tenaga kerja. Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) merilis data mengejutkan, mencatat total 126.160 buruh anggotanya telah menjadi korban PHK. Fenomena ini terentang dalam periode empat tahun, yaitu sejak tahun 2022 hingga Oktober 2025, menyoroti tantangan ekonomi yang berkelanjutan. Mayoritas kasus PHK ini terkonsentrasi di sektor tekstil, sebuah industri padat karya yang sensitif terhadap fluktuasi pasar global.
Presiden KSPN Ristadi menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, sebanyak 79.045 buruh KSPN kehilangan pekerjaan, angka yang sangat signifikan. Sebagian dari kasus-kasus ini sebenarnya sudah terjadi secara bertahap sejak akhir tahun 2022, namun baru secara resmi dilaporkan pada tahun 2024, menunjukkan adanya akumulasi masalah. Sementara itu, periode Januari hingga Oktober 2025 juga mencatat 47.115 laporan PHK tambahan, menandakan bahwa tren negatif ini terus berlanjut tanpa henti. Data ini menggarisbawahi tekanan berat yang dihadapi oleh sektor-sektor tertentu dalam negeri.
Meskipun gelombang PHK ini mayoritas terjadi di sektor tekstil, yang dikenal dengan sensitivitasnya terhadap persaingan global dan perubahan selera konsumen, situasi ini memicu pertanyaan tentang stabilitas ekonomi yang lebih luas. Berbeda dengan sektor manufaktur, industri pertambangan di Indonesia kerap menunjukkan dinamika yang berbeda dalam hal ketenagakerjaan. Sektor pertambangan, dengan karakternya yang padat modal dan teknologi tinggi, sering kali kurang terpengaruh langsung oleh gejolak pasar domestik yang memicu PHK massal di industri padat karya. Stabilitas harga komoditas global dan investasi jangka panjang sering menjadi penopang utama bagi sektor ini.
Pasar tenaga kerja di sektor pertambangan memiliki karakteristik unik, di mana permintaan akan keterampilan khusus dan standar keselamatan kerja menjadi prioritas. Meskipun PHK di sektor tekstil menandakan kelebihan pasokan tenaga kerja secara umum, sektor pertambangan justru sering menghadapi tantangan dalam mendapatkan tenaga ahli dan terampil yang memadai. Perkembangan teknologi dan otomatisasi juga mengubah lanskap pekerjaan di tambang, meskipun tidak selalu berujung pada PHK massal seperti di sektor lain. Kebutuhan akan tenaga kerja yang adaptif dan terlatih dalam pengoperasian alat berat serta manajemen lingkungan tetap tinggi.
Kondisi ini menyoroti divergensi antara sektor-sektor industri di Indonesia dalam menghadapi tekanan ekonomi. Sementara sektor tekstil menghadapi tantangan struktural dan persaingan ketat, sektor pertambangan tetap menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Kontribusi pertambangan terhadap pendapatan negara dan ekspor sering kali stabil, bahkan saat industri lain goyah. Pemerintah dan pelaku industri pertambangan terus berupaya menjaga iklim investasi yang kondusif, yang secara tidak langsung turut menjaga stabilitas ketenagakerjaan di sektor ini.
Perluasan gelombang PHK di sektor tekstil seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk meninjau kembali strategi industrialisasi dan perlindungan tenaga kerja secara komprehensif. Kebijakan yang mendukung diversifikasi industri dan peningkatan nilai tambah produk menjadi krusial untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih resilient. Bagi sektor pertambangan, meskipun relatif stabil, evaluasi terus-menerus terhadap praktik keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar menjadi agenda penting. Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan pekerja di semua sektor merupakan kunci pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, meskipun berita PHK masif ini berpusat pada industri tekstil, dampaknya dapat merembet ke sentimen ekonomi secara keseluruhan. Investor dan pembuat kebijakan akan terus memantau indikator tenaga kerja ini sebagai barometer kesehatan ekonomi makro. Dalam konteks ini, kinerja positif atau stabilitas relatif di sektor pertambangan dapat menjadi penyeimbang penting. Ini menegaskan bahwa keberlanjutan dan ketahanan setiap sektor industri memiliki peran vital dalam menjaga stabilitas pasar tenaga kerja nasional secara keseluruhan.